Arti sebuah senyuman dan anggukan
di Indonesia ini menurut saya memiliki definisi yang beragam. Tidak hanya bisa
diklasifikasikan hanya berarti setuju atau mengetahui terhadap suatu hal. Ada
penafsiran lain dari tindakan tersebut, diantaranya :
1. Saya
tidak mengerti apa yang anda katakana, tetapi saya akan mencoba menerka sebisa
saya apa yang anda maksudkan tadi
2. Saya
mengerti apa yang anda inginkan, tetapi saya mutlak tidak setuju dan akan
melakukannya dengan cara saya sendiri
3. Anda
sangat membuat saya gugup dan saya tidak tahu harus berbuat bagaimana maupun
berbicara seperti apa sehingga saya memilih untuk tersenyum
Budaya Jawa juga mengajarkan saya
mengenai sebuah kehormatan pada ruang pribadi yang dimiliki oleh masing-masing
perorangan. Maksud saya adalah mereka tidak ingin membuka diri dengan orang
lain apabila membahas masalah yang menurut mereka adalah hal yang pribadi.
Misalnya seperti ini, saya pernah ditanyai oleh kawan saya, kenapa sih kalau
ada orang Jawa yang ditawari makanan atau minuman di rumah seseorang, betapapun
laparnya ataupun hausnya mereka, pasti selalu jawabannya adalah “Sampun.. boten
usah repot-repot”.
Ada pembahasan lain yang masih
berhubungan dengan yang saya paparkan di atas, yaitu pada pertunjukan wayang
kulit yang dimainkan dari belakang layar serta terdapat simbolisme terhadap
suatu peran. Hal tersebut menjelaskan etika jawa yang merepresentasikan orang
jawa yang selalu tidak pernah berkata secara langsung, yang apabila menurut
saya pun itu terasa membingungkan atau terasa saya tidak mengerti maksudnya.
Menurut saya, prinsipnya adalah dari istilah orang jawa yang ‘tanggap sasmita’
atau dikenal dengan menangkap isyarat halus. Hal yang konkret adalah Ibu saya
sering mengeritkan alis nya apabila ada hal yang ibu saya tidak menyetujuinya.
Atau menyentuh lengan saya apabila Ibu saya menyuruh saya diam. Atau bisa jadi
jika ada seseorang yang kurang sopan maka ayah saya cenderung menegakkan
punggunya untuk meminta seseorang tersebut untuk mundur.
Selain itu, nada sesorang
berbicara juga merepresentasikan isyarat maupun reaksi dalam menanggapi orang
lain. Jika seseorang yang dihadapi kurang sopan maka orang juga akan bereaksi
yang kurang sopan pula. Kata yang diungkapkan meskipun secara penulisan terbaca
”Iya”, itu pun memiliki banyak arti juga. Untuk itu, yang dibutuhkan adalah
kepekaan untuk menangkap isyarat-isyarat tersebut dengan proses pembelajaran
secara non formal. Karena nilai-nilai seperti ini dibentuk oleh sebuah nilai
moral yang melekat dalam suatu komunitas tertentu.
Kenapa kok saya menulis seperti
ini?
Karena memang analisis saya
seprti ini apabila saya berkunjung ke saudara-saudara saya pada bulan syawal,
setelah menjalani sholat idul Fitri. Terkadang saya bingung dengan
isyarat-isyarat seperti ini. Tapi tidak mengapa,yaa namanya proses belajar. Hehe
Marhaban ya Ramadhan
0 komentar:
Posting Komentar